1.1. Profil Kabupaten Sidoarjo
Profil
Nama Resmi : Kabupaten Sidoarjo
Ibukota : Sidoarjo
Provinsi : Jawa Timur
Wilayah administrasi : Kecamatan: 18, Desa: 325, Kelurahan: 28
Letak geografis
Terletak antara 112,5 BT – 112,9 BT dan 7,3 LS – 7,5 LS dengan batas – batas :
Utara : Kota Surabaya dan Kab. Gresik
Selatan : Kab. Pasuruan
Barat : Kab. Mojokerto
Timur : Selat Madura
Ketinggian dari permukaan laut :
a. 0–3m : Daerah bagian timur merupakan daerah tambak dan pantai (29,99%) hampir
keseluruhan berair asin.
keseluruhan berair asin.
b. 0–10m : Daerah bagian tengah sekitar jalan protokol (40,81 %) berair tawar
c. 0–25m : Daerah bagian barat (29,20 %)
Luas wilayah
Kabupaten Sidoarjo memiliki luas 63.438,534 ha atau 634,39 km2 (Luas Wilayah menurut Kecamatan, Tahun 2004), dengan potensi luas wilayah :
a. Lahan pertanian : 28.763 Ha
b. Lahan perkebunan tebu : 8.164 Ha
c. Lahan pertambakan : 15.729 Ha
d. Selebihnya tanah pekarangan, pemukiman, industri, perumahan dan lain- lain
Jumlah penduduk
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000, penduduk yang menduduki wilayah kabupaten Sidoarjo terdapat 1.563.015 jiwa.
Sejarah Kabupaten Sidoarjo
Pada tahun 1851 Sidoarjo masih bernama Sidokare yang merupakan bagian dari daerah Kabupaten Surabaya. Saat itu Sidokare dipimpin oleh seorang Patih yang bernama R.Ng.Djojohardjo dan dibantu oleh seorang wedono bernama Bagus Ranuwirjo. Baru pada tanggal 31 Januari 1859 berdasarkan keputusan Hindia Belanda No. 9 /1859 Staatsblat No. 6 Kabupaten Surabaya dipecah menjadi 2 , yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare dipimpin oleh seorang Bupati.
Bupati pertama Sidokare adalah RT.NOTOPURO ( RTP. TJOKRONEGORO I ) yang merupakan putra Bupati Surabaya dan bertempat tinggal di Pandean ( Sidoarjo Plasa Sekarang ). Pada masa pemerintahan beliau inilah didirikan masjid di Pekauman ( Masjid ABROR ).
Berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda No. 10 / 1859 tanggal 28 Mei 1859 Staatsblat No. 32 nama Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten Sidoarjo. Tahun 1862 Bupati Tjokronegoro I memindahkan rumah Kabupaten dari kampung Pandean ke kampung Pucang ( Wates ). Disini beliau mendirikan Masjid Jami’ ( Masjid AGUNG ) dan disebelah barat masjid dijadikan Pesarean Pendem ( Asri ). Ketika beliau wafat tahun 1863, jasad beliau disemayamkan dipesarean tersebut.
Pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu, didaerah-daerah mulai dibentuk badan atau perkumpulan yang bersifat Nasional. Pada saat itu yang berkuasa didaerah Delta Berantas adalah Kaigun (tentara laut Jepang). Badan - badan atau perkumpulan yang bersifat Nasional mulai bibentuk dengan nama BKR dan PTKR. Pada permulaan Maret 1946 Belanda kembali ke daerah kita. Pada waktu menduduki Gedangan (pusat pemerintahan di kabupaten sidoarjo saat itu), Pemerintah memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Sidoarjo ke Porong.
Tanggal 24 Desember 1946 Belnda menyerang Kota Sidoarjo. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dipindahkan lagi yaitu kedaerah Jombang . Sesudah Negara Jawa Timur dibentuk daerah Delta Berantas ini masuk daerah Negara Boneka tersebut. Mulai saat itu Daerah Sidoarjo berada dibawah pemerintahan Recomba yang berjalan hingga tahun 1949. Pada waktu itu Bupati Sidoarjo adalah:
1. K. Ng. Soebakti Poespanoto;
2. R. Suharto.
1. K. Ng. Soebakti Poespanoto;
2. R. Suharto.
Tanggal 27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kembali Pemerintahan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Pada waktu itu juga daerah Delta Brantas menjadi daerah Republik Indonesia.
Sesudah penyerahan kembali kedaulatan kepada Pemerintah RI berdasarkan Undang-Undang Nomor 22/1948. R Suryadi Kertosoeprojo diangkat menjadi Bupati/Kepala Daerah di Kabupaten Sidoarjo.
1.2. Kebudayaan- Kebudayaan di Kabupaten Sidoarjo
1. Bahasa
Bahasa yang berkembang di daerah Sidoarjo dikenal dengan sebutan Bahasa Arek. Bahasa Arek merupakan bahasa keseharian warga Kota Surabaya dan kabupaten pecahan Kota Surabaya, yaitu Sidoarjo, Mojokerto, Gresik.
2. Tradisi
a. Lelang Bandeng
Setiap tahun di Kabupaten Sidoarjo tepatnya dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW diadakan kegiatan lelang bandeng tradisional bertempat di alun-alun Sidoarjo.
Lelang bandeng tradisional diadakan dengan tujuan selain menjunjung tinggi peringatan Maulid nabi Muhammad SAW juga mempunyai maksud menjadikan cambuk untuk meningkatkan produksi ikan bandeng dengan pengembangan motivasi dan promosi agar petani tambak lebih meningkatkan kesejahteraannya.
Lelang bandeng adalah merupakan usaha dengan tujuan mulia, karena hasil bersih uang seluruhnya digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan melalui yayasan amal bhakti Muslim Sidoarjo.
Tradisi lelang bandeng selalu dibarengi dengan kegiatan-kegiatan lainnya yaitu pasar murah, berbagai macam hiburan tanpa dipungut biaya, antara lain Band, Orkes Melayu, Ludruk, Samroh dan lomba MTQ tingkat kabupaten.
Bandeng yang dilelang dinamakan bandeng “KAWAKAN“ yang dipelihara khusus antara 5 – 10 tahun dan mencapai berat 7 Kg sampai 10 Kg per ekor.
b. Nyadran
Di Jawa, pada bulan Ruwah ( kalender Jawa ) ada tradisi yang dinamakan Ruwatan. Bentuk –bentuk Ruwatan ini dapat berupa bersih Desa ,Ruwah desa atau lainnya.
Di Sidoarjo tepatnya di Desa Balongdowo Kecamatan Candi ada tradisi masyarakat yang dilakukan setiap bulan Ruwah pada saat bulan purnama.
Tradisi tersebut dinamakan Nyadran, Nyadran ini merupakan adat bagi para nelayan kupang desa Balongdowo sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bentuk kegiatan Nyadran berupa pesta peragaan cara mengambil kupang di tengah laut selat Madura.
Nyadran di Sidoarjo mempunyai ciri khas tersendiri. Kegiatan Nyadran dilakukan oleh masyarakat Balongdowo yang mata pencaharian sebagai nelayan kupang, pada siang harinya sangat disibukkan dengan kegiatan persiapan pesta upacara meski puncak acaranya pada tengah malam.
Kegiatan ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 1 pagi. Orang- orang berkumpul untuk melakukan keliling. Perjalanan dimulai dari Balongdowo Kec, Candi menempuh jarak 12 Km. Menuju dusun Kepetingan Ds. Sawohan Kec. Buduran. Perjalanan ini melewati sungai desa Balongdowo, Klurak kali pecabean, Kedung peluk dan Kepetingan ( Sawohan ).
Ketika iring-iringan perahu sampai di muara kali Pecabean perahu yang ditumpangi anak balita membuang seekor ayam. Konon menurut cerita dahulu ada orang yang mengikuti acara Nyadran dengan membawa anak kecil dan anak kecil tersebut kesurupan. Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut masyarakat Balongdowo percaya bahwa dengan membuang seekor ayam yang masih hidup ke kali Pecabean maka anak kecil yang mengikuti nyadran akan terhindar dari kesurupan/ malapetaka.
Sekitar pukul. 04.30 WIB. Peserta iring-iringan perahu tiba di dusun Kepetingan Ds. Sawohan . Rombongan peserta nyadran langsung menuju makam dewi Sekardadu untuk mengadakan makan bersama. Sambil menunggu fajar tiba, peserta nyadran tersebut berziarah, bersedekah, dan berdoa di makam tersebut agar berkah terus mengalir. Menurut cerita rakyat Balongdowo Dewi sekardadu adalah putri dari Raja Blambangan yang bernama Minak Sembuyu yang pada waktu meninggalnya dikelilingi “ ikan kepiting “ itulah sebab mengapa dusun tersebut dinamakan Kepetingan. Tetapi orang-orang sering menyebut Dusun Ketingan.
Setelah dari makam Dewi Sekardadu, sekitar pukul 07.00WIB. Perahu-perahu itu menuju selat Madura yang berjarak sekitar 3 Km. Sekitar pukul 10.00 WIB. iring-iringan perahu tersebut mulai meninggalkan selat Madura. Kemudian mereka kembali ke Ds Balongdowo. Sepanjang Perjalan pulang ternyata banyak masyarakat berjajar di tepi sungai menyambut iring-iringan perahu tiba. Mereka minta berkat/makanan yang dibawa oleh peserta nyadran dengan harapan agar mendapat berkah.
Ada satu proses dari pesta nyadran ini yaitu “ Melarung tumpeng “ Proses ini dilakukan di muara /Clangap ( pertemuan antara sungai Balongdowo, sungai Candi, dan sungai Sidoarjo ). Proses ini diadakan bila ada pesta Nyadran atau nelayan kupang yang mempunyai nadzar /kaul.
3. Kesenian
a. Wayang Kulit
Jenis wayang kulit yang ada di Sidoarjo sebagian besar adalah wayang kulit gaya Jawa Timuran (gaya Wetanan) dan sebagian kecil gaya Kulonan. Hampir semua kecamatan memiliki dalang wayang kulit Wetanan ini, diantaranya: Tarik, Balungbendo, Krian, Prambon, Porong, Tulangan, Sukodono, Candi, Sidoarjo, Gedangan dan Waru.
Gaya Wetanan ini dapat dibagi lagi dalam penggolongan pecantrikan, yaitu:
a. Ki Soewoto Ghozali (alm) dari Reno Kenongo, Porong
b. Ki Soetomo (alm), dari Waru
c. Ki Suleman (alm), Karangbangkal, Gempol
a. Ki Soewoto Ghozali (alm) dari Reno Kenongo, Porong
b. Ki Soetomo (alm), dari Waru
c. Ki Suleman (alm), Karangbangkal, Gempol
Dari segi musik, instrumennya menggunakan gamelan slendro, mirip yang digunakan dalam ludruk. Berbeda dengan gaya Kulonan yang menggunakan gamelan slendro dan sekaligus pelog. Namun kemudian wayang gaya Wetanan juga menggunakan gamelan pelog, terutama untuk mengiringi adegan-adegan tertentu.
Mengikuti selera konsumen, pergelaran wayang kulitpun akhirnya dilengkapi dengan campursari bahkan juga musik dangdut. Malah sudah sejak lama wayang Wetanan disertai pembuka tarian Remo segala, dimana pengunjung diminta memberikan saweran yang dulu diselipkan ke dada.
Keberadaan wayang kulit di Sidoarjo semakin menurun karena tidak ada kaderisasi. Hanya ada satu dalang cilik, anak Subiyantoro yang juga dalang. Juga tidak ada lembaga formal atau nonformal yang mengajarkan wayang gaya Wetanan secara utuh, bukan hanya disentuh saja. Belum lagi keterbatasan naskah yang siap dipentaskan.
b. Reog Cemandi
Reog Cemandi adalah kesenian asli Sidoarjo. Kesenian itu muncul pada tahun 1926.
Reog Cemandi berbeda dengan Reog Ponorogo. Yang membedakan adalah tidak adanya warok, dan topengnya tidak dihiasi dengan bulu merak seperti ciri khas reog Ponorogo. Irama musik yang digunakan adalah angklung dan kendang kecil.
Jumlah pemain Reog Cemandi sekitar 13 orang. Dua penari yang memakai topeng Barongan Lanang (laki-laki) dan Barongan Wadon (perempuan), enam penabuh gendang dan empat pemain angklung.
Saat memainkan tarian itu, dua penari Barongan Lanang dan Barongan Wadon mengiringi penabuh gendang yang ada di tengahnya. Enam penabuh gendang itu membentuk formasi melingkar sambil mengikuti irama.
Dulunya, reog Cemandi adalah pertunjukan yang dipakai masyarakat desa Cemandi, kecamatan Sedati untuk mengusir penjajah Belanda. Waktu itu, salah satu kyai dari Pondok Sidoresmo Surabaya, menyuruh masyarakat setempat untuk membuat topeng dari kayu pohon randu. Topeng itu dibentuk menyerupai wajah buto cakil dengan dua taring. Setelah itu, masyarakat setempat melakukan tari-tarian untuk mengusir penjajah yang akan memasuki desa Cemandi.
Selain untuk mengusir penjajah pada waktu itu, tarian tersebut juga sebagai himbuan kepada masyarakat sekitar untuk selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa. Anjuran itu tersirat dalam sair pangelingan (pengingat) yang dilantunkan pemainnya sebelum memulai pertunjukan. “Lakune wong urip eling gusti ning tansah ibadah ing tengah ratri,” ucap Arif Juanda menirukan sair itu.
Kini, pertunjukan reog Cemandi itu sudah berubah fungsi. Masyarakat sekitar biasa mengundang kesenian Reog Cemandi itu untuk hajatan mantenan, sunatan atau acara lainnya. Selain itu, masyarakat sekitar percaya, bahwa tarian reog Cemandi bisa untuk menolak balak (membuang sial). “Kalau arak-arakan pasti kami yang di depan. Karena untuk menolak balak,” tegasnya lagi.
c. Wayang Potehi
Kesenian adalah kesenian khas China, keberadaannya melekat dengan klenteng atau rumah ibadah Tionghoa. Di Sidoarjo ada di klenteng Tjong Hok Kiong di Jalan Hang Tuah, di kawasan Pasar Ikan.
Di Sidoarjo, wayang potehi hanya digelar saat perayaan hari jadi Makco Thian Siang Seng Bo di Kelenteng Tjong Hok Kiong, Jalan Hang Tuah Sidoarjo. Acara tahunan ini juga diisi dengan hiburan rakyat untuk warga sekitar kelenteng. Untuk memeriahkan HUT Makco, Subur biasanya menggelar pertunjukkan wayang potehi selama satu bulan penuh di kompleks kelenteng. Wayang potehi di Sidoarjo merupakan bagian dari ritual umat Tridharma ketimbang hiburan biasa. Karena itu, jarang sekali orang luar yang menikmati kesenian langka ini. Padahal, unsur hiburan dan intrik di wayang potehi justru lebih banyak daripada wayang kulit.
d. Jaran Kepang
Kelompok seni tradisi jaranan hampir punah di Kabupaten Sidoarjo, tak sampai hitungan jari sebelah tangan. Sebelum 1980-an, cukup banyak grup jaranan yang menggelar atraksi hiburan di kampung-kampung. Kelompok-kelompok seni Jaranan atau Jaran Kepang yang selama ini ada di Sidoarjo bisa dikatakan bukan asli atau berdomisili di Sidoarjo. Mereka berasal dari luar kota, seperti Tulungagung, yang sengaja ngamen di Sidoarjo dalam waktu beberapa lama. Diperkirakan ada sekitar 10 grup. Namun ada satu grup Jaran Kepang versi Sidoarjo, yang agak berbeda dengan Jaran Kepang pada umumnya. Yakni, ketika dalam masa trance, pemainnya memanjat pohon kelapa dengan kepala menghadap ke bawah. Grup ini hanya ada di desa Segorobancang, kec. Tarik.
e. Tari Ujung
Di daerah lain disebut Seni Tiban. Pertunjukan ini berupa tari dan dimaksudkan untuk meminta hujan. Pertunjukan dua lelaki atau dua kelompok lelaki bertelanjang dada, saling mencambuk dengan rotan secara bergantian. Dapat digolongkan seni pertunjukan karena memang ditampilkan sebagai tontonan. Kadang dimainkan di atas panggung namun masih ada juga yang menggunakan lapangan terbuka. Di berbagai daerah, Ujung merupakan ritual untuk mendatangkan hujan, namun Ujung Sidoarjo memiliki latar belakang sejarah sebagai peninggalan masa kerajaan Majapahit, dimana penduduk disiapkan melatih kanuragan melawan musuh. Kelompok Seni Ujung terdapat di kecamatan Tarik.
4. Cagar budaya
a. Candi Pari
Candi Pari terletak di kecamatan Porong, Sidoarjo. Candi Pari merupakan candi peninggalan kerajaan Majapajit. Candi Pari didirikan sekitar tahun 1293 saka (1371 masehi). Candi ini didirikan pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk. Candi ini memiliki ciri- ciri yang berbeda dari candi byang ada di Jawa Timur lainnya. Candi ini cenderung terpengaruh dengan kesenian Champa (salah satu nama wilayah di Vietnam) jika dilihat dari bentuknya yang agak tambun dan tampak kokoh seperti candi-candi di Jawa Tengah.
Candi Pari berdiri diatas bidang tanah ukuran 13,55 * 13,40 meter, dengan ketinggian 13,80 meter. Bangunan Candi Pari didominasi oleh bata merah pada bagian badannya, sedangkan ambang atas dan bawah pintu masuk bilik candi menggunakan batu andesit. Bagian kaki candi memiliki ukuran 13,55 * 13,40 meter dn tinggi 1,50 meter, pada bagian ini terdapat dua buah jalan masuk ke bilik candi dalam bentuk susunan/trap anak tangga dengan arah utara-selatan dan selatan-utara, jalan masuk seperti ini tidak ditemui dalam candi-candi lain dijawa timur. Pada bagian dalam bilik candi saat ini tidak ditemukan arca sama sekali, akan tetapi dibagian tengah dari sisi dinding timur ( diantara lubang angin ) terdapat sebuah tonjolan sebagai sandaran dinding arca. Dulu daerah sekitar candi pernah ditemukan dua arca Siwa Mahadewa, dua arca Agastya, tujuh arca Ganesha dan tiga arca Budha yang semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Candi Pari tidak memiliki ornamen. Pada kaki candi terdapat hiasan berbentuk panel yang polos tanpa hiasan. Sedangkan dibagain tubuh candi terdapat pahatan semacam panel-panel besar polos tanpa hiasan. Di dinding barat tepat diatas pintu masuk terdapat hiasan segitiga sama sisi dengan bagian kecilnya berada di atas. Pada bagian tengah dinding utara, timur dan selatan terdapat hiasan miniatur yang atapnya bertingkat lima dengan puncaknya berbentuk kubus, bagian atas ambang pintu dan pada masing-masing tingkatan atap miniatur candi terdapat hiasan teratai dan dipuncaknya ada hiasan (angka) atau Sangkha. Candi pari yang ada saat ini merupakan hasil pemugaran tahun 1994-1999 oleh Kanwil Depdikbud dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur melalui dana Proyek Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.
b. Candi Sumur
Candi Sumur merupakan candi yang juga masih satu lokasi dengan Candi Pari. Mungkin hanya berjarak kurang lebih 100 meter.
Berbeda dengan Candi Pari yang berukuran lumayan besar, Candi Sumur memiliki ukuran yang lebih kecil, mungkin hanya separuhnya dan hanya berhasil dipugar separuhnya saja.
Semua orang yang melihat candi ini pasti akan heran. Karena sisi yang tegak hanya separuhnya saja dan ini akan membuat Candi Sumur rawan untuk runtuh. Tetapi sekarang dibangun kerangka dari semen yang berfungsi sebagai penopang dan pengikat susunan badan candi yang masih ada.
Candi Sumur ini diperkirakan dibangun bersamaan dengan Candi Pari, dan seperti halnya Candi Pari, Candi Sumur juga terbentuk dari susunan batu bata merah bukan dari batu andesit yang umumnya kita jumpai pada candi-candi lain. Pada bangunan candi ini juga tidak ditemukan ukiran atau relief-relief yang mendhias dinding atau kaki candi. Bentuk unik hanya terlihat dari susunan anak tangga yang berada di sisi selatan candi. Anak tangga ini cukup "curam" dan tidak memiliki dinding tangga di bagian sisinya, sehingga perlu perhatian extra bila pengunjung ingin menaikinya dikarenakan bata penyusun anak tangga atau tempat berpijak kaki itu sendiri tidak tersusun rata dan rapi. Memang, meskipun Candi Sumur tampak jelas telah mengalami renovasi, namun batu-batu penyusun candi nampak belum diatur dengan rapi dan ditambah dengan batu-batu pengganti untuk sisi-sisi yang hilang. Bentuk candi yang berhasil direnovasi juga belum mampu memberikan gambaran secara lebih jelas dan pasti akan lekuk-lekuk badan dan sudut-sudut candi.
c. Candi Dermo
Candi Dermo terletak di Dusun Dermo Desa Candi Negoro Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo. Candi Dermo berukuran tinggi 13,5 meter, panjang 6 meter dan lebar 6 meter.
Saat ini, Candi Dermo sedang dalam perencanaan akan di renovasi. Sebenarnya candi ini sudah pernah direnovasi pada jaman penjajahan belanda, namun renovasi yang dilakukan nampaknya merubah wajah candi, karena lebih bersifat mempertahankan candi dari keruntuhan daripada upaya menyusun ulang badan candi.
Bagian dalam candi sangat sempit. Ini karena pada masa pemerintahan Belanda dilakukan pemugaran dan pemugaran ini menambah bagian dalam sedemikian rupa sehingga bisa menyokong bangunan dari kemungkinan runtuh. Tetapi ada perbedaan antara batu asli candi dengan batu hasil pemugaran Belanda. Batu bata hasil pemugaran semasa penjajahan Belanda mempunyai ukuran yang lebih kecil dan tipis dibandingkan batu bata asli penyusun candi.
Pada kompleks candi Dermo, terdapat 4 buah Arca dengan 2 macam jenis, yakni Arca Manusia Bersayap dan Arca Kolo. Namun sayangnya, sekarang salah satu dari arca-arca tersebut ada yang sudah hancur, sehingga kini Candi Dermo hanya memiliki 3 Arca saja. Yang disayangkan juga adalah bentuk apa yang hendak ditampilkan pada kedua patung tersebut sudah susah untuk dikenali lagi karena arca sudah rusak.
Candi Dermo dibangun pada Masa kerajaan Majapahit, pada wangsa Raja Hayam Wuruk. Candi bercorak hindu ini berdiri pada tahun 1353 dibawah pimpinan Adipati Terung yang sekarang makamnya terdapat di Utara Masjid Trowulan.
Candi ini termasuk salah satu kompleks candi yang dibangun oleh Kerajaan Majapahit sebagai bukti akan luasnya daerah kekuasaan yang dimiliki. Candi ini sebenarnya merupakan Gapura atau Pintu Gerbang, orang Jawa mengatakan Gapura Ke Bangunan Suci. Arti dari Bangunan suci sendiri adalah bangunan induk yang biasanya terletak di sebelah timur candi. Begitupula dengan Candi Dermo, sebenarnya dahulu di sebelah timur Candi ada bangunan induk yang ukurannya lebih besar, namun sekarang bangunan induk tersebut sudah pupus dimakan waktu dan akhirnya roboh. Oleh masyarakat jaman dulu, lahan puing-puing bangunan induk tersebut dijadikan pemukiman oleh warga sekitar.
d. Candi Pamotan
Candi Pamotan terletak di desa Pamotan kecamatan Porong. Atap candi ini sudak hilang dan candi ini lebih menjorok ke dalam maka dari itu apabila musim hujan tiba, candi ini kerap digenangi air.
Lebar Candi Pamotan hanya sekitar satu meter saja. Candinya sendiri hanya berupa tumpukan bata merah karena atap dan badan candi sudah runtuh.
Meskipun berada di daerah kekuasaan kerajaan Majapahit, candi ini belum bisa dikatakan sebagai situs peninggalan kerajaan Majapahiyt
e. Candi Medalem
Candi ini sangat berbeda dengan candi- candi lainnya yang ada di Sidoarjo. Candi Medalem hanya berupa tumpukan batu bata merah yang disusun memanjang entah berapa meter panjangnya.
Candi yang ditemukan tahun 1992 oleh Pak Tamaji ini diperkirakan sebagai tempat pembakaran atau mungkin fondasi candi. Tidak ada berita jelas mengenai situs bersejarah ini. Karena papan penunjuk sejarah tidak ada. Bahkan papan larangan untuk tidak merusak situs sudah rusak dan berkarat.
Nasib candi ini sangat tragis. Bahkan bata-bata yang memanjang itu sudah tinggal sedikit karena sisanya terkubur di bawah pohon-pohon pisang dan rumah penduduk.
Tidakada pengunjung ke situs ini, hanya orang yang ingin mengambil air yang dianggap ajaib dari sumur dekat candi ini saja yang mau menghampiri situs ini.
0 Response to "Budaya-Budaya Kabupaten sidoarjo"
Posting Komentar