Akhirnya, semua menyepi seperti kehidupan di tengah hutan yang tak pernah terbayangkan. Seperti kehidupan dalam kematian atau justru sebaliknya, kematian dalam kehidupan kah? Aku menepis kenyataan bahwa kini senyumku tak seindah dulu, meski memang indah itu hanya perumpamaan bahwa aku pernah menyunggingkan kedua bibirku dengan baik dan terlihat sedikit lebih baik dibanding terkatup dan terdiam membisu bahkan kini ditemani air mata yang tak pernah kuundang untuk menemani kisah akhir-akhir ini.
Namun, apa daya? aku hanya bisa melihat kenyataan ini tanpa mampu mengupayakan hal lain lagi. Aku mengalah namun ternyata itu adalah bumerang yang secara perlahan menusukku dari belakang dan perlahan aku pun terdiam, tak mampu bergerak, tak mampu lagi berkata. Aku terpaku dalam kegelapan, melihat cahaya yang secara perlahan semakin menghilang dan akhirnya benar-benar mati tanpa ada sedikit arti yang memberiku pemahaman tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingin mencaci diri yang bodoh ini. Namun semua itu tak mampu mengubah keadaan. Lampu telah padam, harapan telah hilang. Kini aku hanya mampu menjerit dalam hati, meminta melalui do'a. Biarlah luka ini membusuk dan membunuhku perlahan. tapi biarkan bahagia itu menyapa dan menemani orang-orang yang kusayangi, meski dengannya aku tak lagi bersama. Terimakasih atas segala cerita.
0 Response to " "
Posting Komentar