Blog saya ini merupakan penampungan lintasan-lintasan pemikiran saya yang kadang terbersit muncul di benak.
Memang tujuan utama saya nge –blog, adalah menulis untuk dibaca diri sendiri.
Meski di dashboard blog saya klik ‘publish’ tapi penerbitan konten ini untuk audiens utamanya : ya saya sendiri.
Karena konten saya kadang (sering) saya klik untuk baca sendiri, serta tidak memisahkan katagori siapa yang membacanya.
Saya tidak setel pada tombol ‘kecualikan saya’ pada katagori pembaca.
Pembaca yang saya sasar... ya adalah diri saya sendiri.
Jadi kalau di dasbor angka pembacanya misalkan menunjukkan angka 10, ya itu berarti saya baca sendiri hingga 9 kali, yang 1 ada pembaca nyasar dari mesin pencari, dan biasanya segera tersadar di bawah satu menit, dan buru-buru pindah ke web lain..
Jadi kalau di dasbor angka pembacanya misalkan menunjukkan angka 10, ya itu berarti saya baca sendiri hingga 9 kali, yang 1 ada pembaca nyasar dari mesin pencari, dan biasanya segera tersadar di bawah satu menit, dan buru-buru pindah ke web lain..
Jadi jika ada pembaca mampir, saya yakin hanyalah karena digiring oleh mesin pencari, kemudian kebetulan melihat semua konten di web saya ini, kemudian komentar : lhoh kok kontennya gitu amat ya?
Ya, memang semua konten di web log ini hanya saya tujukan buat saya sendiri.
Kalau ada pembaca lain mampir ya itu kan karena ‘kesasar’ karena di - ‘sasar’ dirujuk oleh mesin pencari, bagi saya, adalah pembaca sampingan.
Pembaca utamanya ya saya sendiri....
Saya tak bingung traffic, karena apa yang saya suka untuk naikkan, ya saya naikkan saja.
Weblog ini kan adalah kenangan hidup saya.
Saya berpatokan bahwa hidup adalah sebuah kenangan, yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Apakah pak Mung percaya akhirat ?
Waduh, saya bukan saintis barat yang tidak percaya
afterlife.
Justru saya nge blog ini karena sangat percaya, jika apa yang saya tulis dan unggah, apapun bentuknya, jika itu bermanfaat, pasti akan saya bisa pertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Namun jika konten dalam web log saya ini menyesatkan orang ke arah kebathilan misal ada muatan pornografi baik film atau gambar, atau muatan perjudian.
Maka hal ini akan menjadi kenangan buruk saya di akhirat (after life) kelak.
Bahkan jika konten porno dan judi setelah kita mati, kontennya jusru makin dilihat banyak orang, karena memang konten porno dan judi sangat menyedot perhatian orang, maka makin buruklah kenangan hidup kita yang akan kita saksikan di akhirat kelak.
Saya sangat percaya kalau hidup ini terlalu singkat.
Sangat singkat.
Tidak akan cukup terasa, biarpun nanti katakan saya hidup 88 tahun lamanya.
Jika katakanlah jika selama 88 tahun hidup itu saya tak punya weblog, maka saya tak akan mampu mengingat kenangan hidup saya di dunia ini.
Karena pikiran manusia kan bisa terkena lupa.
Sebelum lupa saya tulis di weblog dulu.
Kok ga di email mas ?
Kalau di email saya tidak bisa mudah dan cepat untuk mengaksesnya kembali, kalau di weblog kan muncul di halaman depan ketika kita ketikkan url kita.
Ko ga di simpan saja dalam draft trus dibaca sendiri?
Karena draftnya tak ada layoutnya.
Maka dengan saya simpan di weblog, saya bisa ingat kembali saat itu saya sedang mikir apa dan nulis apa.
Saya juga evaluasi lagi dalam weblog ini, tahun sekian bulan ini-itu, saya nulis apa ya ?
Lho kok pada bulan Juni 2016 lalu saya ga’ nulis apa-apa ini gimana ? Apa yang terjadi ? arsip weblog saya kosong melompong di Bulan Juni 2016.
Sesuatu yang cukup saya sesalkan.
Saya merasa tidak aktif banget dalam mengisi memory saya.
Bukan tak ada mood, karena pada Bulan Juni 2016 lalu ternyata saya sibuk mengisi konten web lainnya.
Jadi malah terlewat untuk mengisi web log saya sendiri.
Karena sifat pekerjaan saya sebagai pengajar juga, maka saya tidak bisa menyembunyikan pemikiran dan ide.
Lain halnya jika seorang pebisnis, maka sedapat mungkin tidak akan membagi informasi apapun yang berharga bagi dirinya.
Jika dapat informasi yang berharga, bagi seorang pebisnis akan sedapat mungkin membawanya hingga liang kubur, tanpa dia bagi dengan siapapun, mungkin hanya pada anaknya dan saudaranya.
Namun saya bukan pebisnis, jadi saya menuangkan saja semua pemikiran tanpa ada rasa khawatir akan diambil orang.
Toh ide dan pemikiran itu milik Tuhan Yang Maha Esa.
Apalagi kalau pemikiran saya dirasa janggal, serta dipandang tidak berguna bagi orang lain, saya juga tidak bakal risau.
Karena hakekat tujuan saya nge blog memang hanya dibaca untuk diri saya sendiri.
Saya ndak pernah mikir pengunjungnya harus banyak atau bagaimana.
Ndak ada masalah traffic buat saya (di weblog saya ini).
Karena juga tidak setiap saat saya mendapatkan lintasan-lintasan pikiran yang cukup bagus buat saya unggah ke blog saya ini.
Ada kalanya hari-hari saya hanya terpaku pada rutinitas pekerjaan saja, atau kadang bengong di tempat sambil lihat televisi, atau hanya jalan-jalan saja tanpa menambah pengetahuan, selain pengetahuan tentang ada barang apa di mana.
Tentang Konten Web
Dalam dunia web site atau situs internet, para pengisi konten dalam web site kebanyakan adalah untuk menyajikan informasi kepada para pembaca, kepada para pengakses internet.
Keinginan untuk sharing ini adalah hal yang lumrah dalam kehidupan sosial manusia.
Manusia selalu ingin membagi informasi kepada manusia lainnya. Tujuannya bisa untuk motif ekonomi atau sosial.
Dengan pengguna internet diperkirakan bergerak ke angka sebanyak 80 juta di Indonesia.
Maka diasumsikan bahwa para pengguna internet ini pasti membutuhkan informasi yang berguna bagi dirinya masing-masing.
Informasi yang tadinya disajikan dalam bentuk media cetak, mulai perlahan bergeser, disajikan dalam bentuk informasi elektronik dalam dunia internet.
Jumlah pembaca novel yang dikategorikan novel best seller di Indonesia disebut minimal di kisaran angka 200 ribu eksemplar baru disebut best seller, bahkan novel A2DC disebut laku sekitar 400.000 eksemplar dan ini barulah disebut best seller nasional, dan mendapat penghargaan dari penerbit.
Jadi sebuah novel, atau buku dinyatakan sebagai best seller, apabila mencapai rekor penjualan sampai 400 ribu eksemplar.
Ini artinya ada sekurangnya 400. 000 orang pembaca aktif atau orang yang suka baca, kutu buku, katakanlah begitu, yang memang sengaja membeli buku tersebut untuk dibaca.
Relatif rendahnya peminat pembaca atau dalam kata lain masih rendahnya jumlah orang yang mau membaca informasi di Indonesia ini dibanding jumlah penduduk yang hampir 260 juta jiwa, menjadi fokus pemikiran dasar, bagaimana cara membuat web site dengan informasi yang bagus.
Rata-rata web site di Indonesia saya lihat sudah bagus dalam penyajian informasinya.
Kilasan-kilasan Informasi yang cepat umurnya dalam sehari itu sudah baik dan canggih diunggah dalam banyak website.
Sebuah situs web besar, bisa ratusan konten diunggah perharinya. Ratusan konten perhari, bayangkan.
Ada yang saya hitung hingga mendekati angka 100-an konten artikel perhari yang diunggah sebuah web besar, namun ini apakah seimbang dengan animo pembaca di indonesia ?
Apakah tidak berbanding terbalik dengan jumlah pembaca aktifnya ?
Web site besar dengan jumlah konten seperti hypermarket konten, saking besarnya ini adalah : saya sebut sebagai perpustakaan online yang besar-besar.
Bagi seorang pembaca aktif apakah dia benar-benar (secara rata-rata) mengakses semua hampir 100 konten dalam web itu ? ataukah dia selektif memilih dan memilah informasinya.
Karena alasan efisiensi waktu dan biaya?
Seperti kita ketahui jumlah pembaca aktif di Indonesia, jika dilihat dari jumlah buku novel bestseller di kisaran 400.000 eksemplar.
Sedangkan Jumlah oplah koran terbesar bisa mencapai 600 ribu eksemplar perhari secara nasional.
Namun kini secara pelan namun pasti oplah koran juga menurun, karena:
1. Selektifitas informasi
Dengan makin banyaknya media televisi, internet, radio dan koran, maka selektif informasi artinya adalah dalam sehari, hanya ada beberapa informasi yang sangat menarik perhatian khalayak.
Jumlah informasi yang sangat 'Nasional' ini secara alamiah hanya dalam hitungan jari.
Misal sebuah kasus kriminal, kasus hukum dan kasus politik yang sangat menarik perhatian mayoritas audiens/pembaca/publik secara luas.
Mereka, audiens khalayak yang sudah paham terhadap bagaimana kisah kasus atau case story ini terjadi biasanya sudah lihat di televisi.
Di mana televisi memang sengaja memberi porsi lebih untuk menyajikan setiap peristiwa yang sangat besar pengaruhnya bagi para pembaca seperti kasus kriminal yang menggemparkan, kasus politik yang mendapat perhatian karena kontroversial dan lainnya.
2. Cukup Informasi
Selektif informasi ini menyebabkan para pengakses informasi merasa cukup untuk informasi itu dalam sehari.
Sisanya (sisa waktu sehari itu) para audiens/ pengakses internet akan sibuk dengan media sosialnya, melihat aktivitas dan informasi dari kawan-kawannya dalam media sosialnya yang cepat diakses.
Informasi ini relatif lebih dipercaya karena diperoleh dari teman.
Namun demikian, dalam sehari di dunia web site, informasi akan terus diguyurkan oleh web site-web site besar dalam konglomerasi media.
Karena apa?
Karena pengisi kontennya dibayar/digaji per-bulan untuk menghasilkan kuota konten per-harinya.
Misal, ini misal ya, Jika sebuah web besar menggaji 20 orang pengisi konten.
Dan sehari minimal seorang pengisi konten ini diwajibkan mengunggah 5 - 10 buah informasi dalam jam kerjanya dalam sehari penuh.
Maka sehari sudah terunggah 100- 200 buah informasi, tidak peduli mau dibaca berapa banyak pengunjung, di dalam satu web site.
Ini baru satu web site besar, lha di negeri ini saja kan sudah ratusan web site besar.
Maka bayangkan sudah berapa jumlah informasi yang mengalir di internet, menunggu untuk diakses.
Karena perusahaan besar kan sudah menggaji karyawannya untuk memproduksi kuota konten perhari jumlahnya bisa 10 konten bahkan lebih per-harinya.
Ini kan prinsip industri, kalau bisa didorong banyak, mengapa tidak? kan toh bayarannya karyawan sudah perbulan ?
Kalau sehari kerja bisa dimaksimalkan kinerjanya hingga 20 konten perhari per-orang, ya akan di ‘paksa’ hingga 20 konten perhari per-orang (pengisi konten), tak peduli apapun jua.
Kalau sehari kerja bisa dimaksimalkan kinerjanya hingga 20 konten perhari per-orang, ya akan di ‘paksa’ hingga 20 konten perhari per-orang (pengisi konten), tak peduli apapun jua.
Namun, manusia bukan mesin robot atau kode program penempa konten.
Kapasitas manusia normal apabila dia tidak menjiplak, untuk membuat 10 konten orisinal tekstual perhari saja dengan panjang kata hingga 500 kata per-konten, per-hari 10 konten murni orisinal inipun sudah luar biasa manusiawi banget.
Nanti jika sudah lazim digunakan mesin robot penempa konten yang mampu otomatis menempa konten jadi, secara robotic, web besar akan menjelma jadi super container atau gigantic library, perpustakaan raksasa.
Jadi web site-web site besar di indonesia ini sudah menjadi perpustakaan online terbesar.
Web besar ini secara algoritma akan mampu berkapasitas menyimpan jutaan kata kunci yang bisa diakses oleh mesin pencari.
Hanya kata kunci spesifik saja, yang bisa luput dari penyimpanan perpustakaan massif web-web besar ini.
Seorang penulis konten di media-media web yang bukan media web site besar, yang dirasa kontennya cukup bagus dan menyajikan informasi yang berguna, mungkin dalam satu hari satu kontennya dibaca sebanyak 15 orang sampai 20 orang.
Angka ini sudah cukup bagus. Mengingat banyaknya jumlah web di Indonesia yang tiap hari menyajikan informasinya.
Informasi tertulis atau tekstual dalam web bertebaran di dunia maya.
Blogger di Indonesia yang mahir saja biasanya menulis hingga 5-10 konten perhari dan dibaca hanya 30 orang hingga 40 orang dalam kurun waktu sehari itu.
Ini sudah bagus sekali.
Blogger di Indonesia yang mahir saja biasanya menulis hingga 5-10 konten perhari dan dibaca hanya 30 orang hingga 40 orang dalam kurun waktu sehari itu.
Ini sudah bagus sekali.
Ini pembaca manusia Indonesia ya, orang sungguhan yang mengakses, karena butuh mendapat informasi, bukan diakses oleh robot program.
Kalau Dulu
Dulu, Saya pernah bekerja di beberapa tabloid.
Dulu, Saya pernah bekerja di beberapa tabloid.
Pada tahun kurun waktu 2001 hingga sekitar 2005 saya bekerja untuk mengisi konten di beberapa tabloid cetak.
Beberapa tabloid ini artinya ada beberapa tabloid yang saya isi kontennya dalam kurun waktu itu dalam sebuah penerbitan skala kecil-menengah.
Ketika itu karena penerbitan tempat saya bekerja bukanlah group penerbitan besar, maka saya merasa cukup senang apabila tabloid itu mendapat oplah maksimumnya sekitar 50.000 eksemplar per-minggu dengan tingkat return 5% saja perminggu.
Ya ini bukan penerbitan perusahaan besar ya, hanyalah perusahaan kecil saja yang saya ikuti ini.
Kalau tabloid dari penerbitan besar angkanya bisa 200 ribu eksemplar per-minggu, nasional.
Kalau tabloid dari penerbitan besar angkanya bisa 200 ribu eksemplar per-minggu, nasional.
Return tabloid kami ini akan dijual lagi seharga Rp.500,- minggu depannya, hingga akhir bulan jika tak laku dijual perkilo kertas
Tabloid kami memang mingguan. Saya, saat kurun waktu silam itu memilih bekerja di penerbitan kecil-menengah agar banyak waktu untuk membaca dan berpikir.
Karena pada kurun waktu 1999 hingga 2001 saya juga pernah bekerja di koran penerbitan besar dimana irama kerjanya sangat rigid, dalam harian, rapat redaksi hingga larut malam libur hanya 3 kali seminggu.
Membuat saya kurang mampu berpikir bebas dan membaca aneka buku yang memang saya-nya kutu buku, begitulah.
Pada akhirnya saya syukuri karena dengan bekerja cukup jeda waktu, saya bisa banyak membaca buku, sehingga saya bisa kuliah lagi pada tahun 2009 menamatkan strata 2 jurnalistik di IISIP, tamat mendapat gelar magister tahun 2012.
Selama 2006 sampai 2012 saya freelance mengisi web site orang juga mengajar di beberapa universitas.
Harga yang yang dipatok tabloid saat itu murah meriah hanya Rp 3000.- rupiah saja tiap eksemplarnya.
Saya ingat yang cukup mengesankan bagi saya adalah ketika saya dan rekan-rekan saya para kru pengisi konten tabloid berkunjung ke sejumlah agency koran besar di beberapa kota besar di Pulau Jawa seperti Jakarta, Semarang, Bandung dan Surabaya untuk melihat pasar tabloid dan media cetak yang saat itu sangat berkembang pesat.
Kenapa saat itu berkembang pesat ?
Karena relatif mulai pada jaman itu rezim orde baru sudah tumbang (tumbang Mei 1998, saya kerja di media tahun 1999 di koran, dan tahun 2001 di tabloid ) jadi tadinya dibatasi untuk membuat koran dan majalah serta tabloid maka seketika tidak ada batasan lagi siapa pun boleh membuat media.
Kalau dulu yang membuat koran ya harus disetujui oleh rezim Orba.
Maka pada tahun-tahun awal reformasi itu orang-orang yang punya modal bisa membuat koran dan tabloid tanpa ada SIUPP.
Beberapa kawan jurnalis yang tua terlihat tidak senang oleh kebebasan pers waktu itu dan berharap pemerintah kembali menerbitkan SIUPP lagi untuk membendung dan membatasi persaingan media.
Katanya : “Wah mas sekarang susah, banyak wartawan muda baru di setiap acara, kita jadi rindu di mana jumlah wartawan hanya sedikit di jaman orba, kan dulu dulu itu jadi wartawan harus diseleksi lagi oleh pihak orba, mana orang yang bisa jadi wartawan mana yang tidak lolos litsus,” kata para wartawan tua pada awal reformasi pada tahun 2001 itu dulu.
Ya ini adalah suara-suara orang-orang kuno yang ingin adanya SIUPP lagi.
Lha kalau weblog bebas seperti ini ya apakah butuh ijin pemerintah segala ?
Apakah mau dibatasi kembali seperti orde baru ?
Anehnya banyak orang ingin kembali pada jaman orde baru dengan membatasi jumlah media.
Dan lucunya lagi, ingin membatasi jumlah media news dotcom.
Ini mimpi yang tak masuk akal.
Karena di Amerika sebagai epicentre, kebebasan informasi sudah berjalan sesuai hukum alam, kebebasan media sudah berjalan sesuai hukum alam alam, bukan sesuai hukum rezim pemerintah.
Karena di Amerika sebagai epicentre, kebebasan informasi sudah berjalan sesuai hukum alam, kebebasan media sudah berjalan sesuai hukum alam alam, bukan sesuai hukum rezim pemerintah.
Inilah inti demokrasi : suara rakyat yang mengalir sesuai hukum alam, bukan hukum buatan rezim elit politik.
Saya masih ingat pula betapa penerbitan kecil menengah di mana saya bekerja tahun 2001-2005 itu selalu berpesan agar tabloid kami bisa bersaing di lapak-lapak kios majalah dan koran, maka disarankan untuk membuat cover menarik dan judul cover yang sangat atraktif sehingga pembaca mau membeli tabloid yang sudah murah meriah seharga Rp. 3000, - itu.
Jadi murah saja belum menjamin laku tabloidnya, harus plus menarik (atraktif) dan murah bersaing.
Kemudian saya pernah bekerja juga sebagai pengisi konten
di sebuah majalah komunitas pada tahun 2006, dimana oplah sekitar 5000 eksemplar per-bulan yang dibagikan secara gratis,di berbagai pemukiman yang terpilih lokasinya.
Dengan harapan tentunya pemasukan dari iklan bisa berjalan.
Pengalaman saya bekerja di tabloid ini dulunya membuat saya senantiasa berpikir apakah hal yang sama bisa berlaku di web site dotcom yang berbasis tekstual informatif.
Beberapa teman saya mengatakan jika bikin judul di web.com harus irresistible (sulit ditolak) atau sangat menarik bagi para pembaca.
Kenapa ?
Karena pembaca cenderung mudah dan cepat bergeser (sliding) ke media web lain untuk mengakses aneka informasi.
Namun jika dilihat cara orang-orang umumnya mengakses web, mereka ini tidak bakal lama-lama untuk ngendon di satu web site berita informatif, hingga sampai hingga jam-jaman untuk melihat semua kontennya.
Lain halnya jika web game atau web film, maka bisa melototin hingga berjam-jam. Game online apalagi, bisa pagi ketemu pagi lagi di depan PC bermain dengan player dari seluruh Dunia.
Bagi para pembaca web online tekstual, durasi waktunya juga tidak seperti nonton film di web yang sampai 2 jam, melototin terus.
Apalagi jika membaca artikelnya melalui smartphone, maka tidak seperti membaca di laptop atau PC yang bisa dinyalakan-dicolok kabel listriknya hingga lama waktunya.
Orang melihat, membaca artikel demi artikel di web informatif, relatif sebentar, inipun hanya untuk web besar yang populer.
Untuk web yang sudah sangat populer, rata-rata hanya 4 hingga 9 menit saja waktu visitnya per orang.
Untuk web site yang belum populer bisa-bisa di bawah satu menit durasi kunjuganya hingga 2 menit kurang, per-orang per-visit.
Dapat dari mana dapat datanya mas?
Ya... mbok ya lihat di alexa.com, kan ada tho pak dhe... lha kan tinggal diketikkan saja nama webnya di alexa nanti kan bisa dilihat berapa rata-rata durasi pengakses web page-nya.
Itu waktunya pakai (mm:ss) alias menit dan detik.
Ya... gimana yah... ini kan informasi untuk saya sendiri, seperti niatan saya di atas, mengapa kok jadi repot-repot ikut penasaran segala.
Ini kan web log saya, weblog aing kumaha aing kitu, piye thoh...
Lha kok protes...? kan juga tidak ada kewajiban untuk membaca ini ?
Ini artikel untuk saya sendiri, pak dhe, mbok dhe...
Untuk salah benarnya ya untuk diri sendiri saja dulu, nanti kalau ada revisi ya revisi untuk pembaruan pengetahuan untuk diri yang bodoh ini.
Lha ini weblog kan bukan jurnal ilmiah, kok pak dhe mbok dhe menuntut harus ilmiah segala...
Lha buat saja sendiri yang ilmiah kan beres, ini sifatnya hiburan buat saya, pak dhe dan mbok dhe...
Pak dhe mbok dhe ini kebanyakan meghakimi orang memprotes orang, menilai orang...
Malah weblog punya orang pun dicela, iya situ kan pinter, terus mbok ya buat yang lebih ilmiah dan dibagikan ke umum kan beressssudah...
Lha kok senangnya protess....
Kadang punya weblog engga tuntas, bikin tulisan engga rajin, ngetik artikel males, bikin analisa yang agak panjang wegah/embung, namun justru rajin komentar protes di kolom-kolom konten di berbagai web... wuihh... pedass menukik amat liik...kayak pinter sendiri aja brooo siis... sudah pasti, lha piye... sifat alamiah manusia....
Iya, dan kadang (sering banget) saya lihat dan baca di situs-situs web yang popular, pasti ada orang-orang anonym yang komentar sok sinis, komentar sok provokatif berbau SARA, bahkan memaki dan menghujat orang.
Itu yang ente hujat orang mann, orang, ciptaan Tuhan YME.
Heyy para arogan anonym... semua itu apa maksudnya sih...? ente ikutan nulis kagak, riset mendalam sangat, juga kagak, lha kok ente komentar di ruang publik di web site-web site dengan memaki-maki orang lain, provokatif SARA pula.
Maka itu di Indonesia, pengelola web masih pula (terpaksa) menyensor aneka komentar pedas berbau provokatif SARA, yang hanya dibuat oleh para anonym, pula, si anonym itu sendiri ya tidak bakalan urun rembug merekonstruksi apapun di web tersebut, hanya waton (asal) komentar emosional saja.
Mungkin usaha nulis analisa juga engga pernah juga.
Kan repot juga kalau para admin web kemudian harus repot menanggapi para anonym yang asal ngasih komen provokatif SARA di web, jadi ya terpaksa disensor demi kebaikan bersama bangsa dan negara ini. Kareppa dibik.
Nah -kembali lagi di alur-, mengapa pembaca online ini rata-rata hanya 4-9 menit berkunjung di situs web tekstual terkenal ?
Untuk web site yang tak terkenal bahkan dibawah semenit rata-rata waktu visitnya, per orang ?
Karena mayoritas orang merasa bahwa hemat itu lebih penting daripada mengakses banyak informasi dengan menghabiskan kuota internet mereka.
Kemajuan smart phone jelas mengubah jalannya permainan di bidang media massa online.
Smart phone ini sudah disebut pula komputer saku.
Harga smart phone juga makin lama makin murah.
Dan menariknya kamera juga makin lama makin canggih, sehingga kelak akan ada kamera infra red dan juga, smartphone berkamera x-ray mungkin, serta dalam smartphone kini sudah ada night vision yang bisa melihat dalam gelap seperti peralatan milter canggih.
Hal ini kan tidak bisa dibendung lagi.
Cerita dulu lagi
Saya harus cerita pada diri saya sendiri sebuah lintasan ingatan akan kisah.
Jadi ceritanya pada sekira tahun 1992-1993 saya baru lulus SMU di Surabaya.
Nah tahun itu saya ingin sekali belajar fotografi SLR.
Namun semua orang yang saya kenal yang bisa SLR justru hanya pamer SLR-nya yang mahal doang.
Pelit membagi ilmunya tentang cara memotret yang bagus dan pelit membagi ilmunya tentang menggunakan SLR.
Ya syukur Alhamdullillah yang punya ilmu ini kan ternyata bukan manusia, melainkan ternyata yang punya ilmu di alam semesta ini ternyata : Tuhan yang Maha Esa.
Jadi ketika kita ingin sebuah ilmu ya tinggal minta saja sama Tuhan, biarpun orang tidak memberi, kalau Tuhan menghendaki memberi ya akan Dia akan berikan ilmu itu, karena semua ilmu memang dari Gusti Alloh Subhana Hu waTa’alaa.
Saya dulu itu mau belajar hanya ditertawakan saja, katanya sulit lah, ndak bakatlah... ntar malah ngrusakin kamera manual SLR itu, dan lain sebagainya.
Bahkan pada tahun 1994 lampau saat saya duduk di bangku kuliah S1, karena kursus fotografi SLR itu masih mahal banget, dan kursusnya harus ke Surabaya Utara, sementara rumah ayah saya di Surabaya Selatan, maka membuat saya mulai belajar SLR secara otodidak.
Alhamdulillah kini (jaman ini maksudnya) dengan makin banyaknya informasi situs-situs web yang mengulas secara lengkap mengenai cara menggunakan DSLR, maka saya berpikir bahwa anak-anak muda yang hendak belajar DSLR akan makin mudah.
Terimakasih kepada para suhu fotografer yang menggratiskan ilmunya di berbagai web site dalam dan luar negeri, Gusti Alloh yang mbales, Bung.
Dan lagi, rupanya banyak kamera smartphone makin lama makin berkembang, makin bagus kualitasnya (hasilnya).
Bahkan juga sudah hampir sama dengan DSLR.
Saya harap nantinya smartphone akan makin canggih, sehingga teknik fotografi dasar seperti : makro, bikin background blur karena aperture lebar, panning, dan bulb, juga bisa dibuat mudah dalam kamera smartphone.
Saya yakin para ahli pembuat gadget di luar sana pemikirannya juga revolusioner.
Merevolusi cara orang menggunakan teknologi, membuat teknologi tidak eksklusif dan sombong, namun teknologi bakal merakyat merata secara luas.
Ya begitulah saya rasa sudah cukup lintasan pemikiran ini mengalir dalam benak saya, dan untungnya sudah saya save (simpan) lintasan pikiran ini dalam weblog saya ini.
Kalau mau ditindak lanjuti dengan survey yang lebih ilmiah dengan meneliti dan mewawancarai responden-responden, dalam bentuk sampling mau random sampling atau purposive sampling ya monggo, mungkin ada yang untuk kepentingan iklan.
Jadi mungkin idenya dipetik dari sini, kemudian ditindaklanjuti dengan teknik sampling ya monggo saja tho, namanya orang cari pengetahuan kan bagus-bagus saja.
Kalau saya sih, ya cukup lihat di dashboard weblog saya saja.
Karena toh pengakses weblog saya ini mayoritas bukan berkunjung langsung, namun diarahkan oleh mesin pencari melalui kata kunci.
Kalau situs web besar dan populer, kan rata-rata pengunjungnya berkunjung langsung, karena telah mengetahui reputasi dari situs web besar itu.
Dari dulu ya web-web besar di Indonesia ya hanya itu-itu saja, yang nongol di top 500 site di Indonesia versi alexa.com.
Jadi karena juga relatif sedikit sekali pengunjung weblog saya, malah saya sengaja tidak menyediakan kata kunci yang banyak, dan tidak sampai mengunggah banyak konten per-harinya untuk tujuan melulu menjaring jumlah pengunjung.
Bukan tidak mau komersial-profesional, tapi ya lebih karena tak ada nafsu untuk melulu sengaja menjaring pembaca.
Niatnya kan : memang dibaca dan dilihat sendiri saja, Bung.
Sebuah artikel saya di weblog saya ini, yang saya anggap bermutu dan sehat paling banter dikunjungi maksimal 100 orang (per-tahun) he he he... per-tahun lho bro and sis.
Ya mungkin karena artikel yang saya anggap bermutu dan sehat ini, ternyata belum tentu dianggap bermutu dan menarik pula oleh orang lain.
.... ya sekali lagi nggak apa-apa kan pembaca nya cuma saya sendiri, saya nggak ada rasa khawatir apapun jua.
.... ya sekali lagi nggak apa-apa kan pembaca nya cuma saya sendiri, saya nggak ada rasa khawatir apapun jua.
Selanjutnya, saya bersyukur masih bisa menuliskan lintasan pikiran di weblog saya, karena saya pernah membiarkan lintasan pikiran-pikiran jalan sendiri di benak, tanpa saya save di weblog, dan yang terjadi malah terlupa, tadi mikir apa saja.
Jadi enaknya nulis buat diri sendiri ya bebas seperti ini, tanpa harus ada batasan, dan tanpa ada rasa khawatir diprotes & dibully, lha wong pembacanya ya cuma saya sendiri ini aja kok...
Kalau ada pembaca lain? ya pasti kesasar karena mesin pencari, pastinya itu... he he he (*)
Kalau ada pembaca lain? ya pasti kesasar karena mesin pencari, pastinya itu... he he he (*)
0 Response to "Lintasan-lintasan juga"
Posting Komentar