Bila kita ketikkan kata kunci "defunct newspapers" di mesin pencari seperti Google, maka kita akan disuguhi fakta dan data yang merincikan beberapa koran di Amerika dan Eropa yang tutup.
Mengapa koran-koran cetak ini terpaksa tutup ?
Ada beberapa alasan, yang utama adalah karena online news semakin berkembang.
Kemudian karena teknologi pula, menimbulkan efisiensi biaya ekonomi, maka rakyat lebih memilih membaca koran online atau berita news.com.
Kemudian karena teknologi pula, menimbulkan efisiensi biaya ekonomi, maka rakyat lebih memilih membaca koran online atau berita news.com.
Di sini disebutkan beberapa koran yang telah tutup di Amerika.
Biasanya gelombang teknologi yang epicentre-nya berpusat dari negara maju seperti Amerika, akan juga menerpa Indonesia sebagai negara berkembang, dalam beberapa waktu kemudian bisa lama nanti, atau sebentar lagi.
Pertanyaan klasik : Apakah untuk mendapat informasi rakyat harus bayar, hingga semurah-murahnya Rp. 80.000,-/bulan ?
Harga koran yang bermutu di Indonesia hingga harga berlangganan koran harus bayar Rp 80.000- rupiah bahkan lebih, jelas akan lebih murah dan efektif jika uangnya dibelikan pulsa untuk membaca secara online, secara paket kuota, yang bisa memanfaatkan kemudahan teknologi, perhitungan rakyat yang melek teknologi demikian.
Saat, naik Bis, sering saya melihat para loper koran menjajakan korannya. Uang sebesar Rp,4000,- hingga Rp 5000,- untuk membeli koran bermutu secara eceran, para penumpang bus saya lihat kurang berminat.
Bahkan untuk koran papan bawah yang berharga Rp.2000,- para penumpang bus juga terlihat biasa saja tidak antusias.
Saya lihat para penumpang yang menenteng smartphone sudah terbiasa dengan gaya font web online yang lebih nyaman dibaca dan laman yang mudah di- tap dan di - slide atau digeser dengan jari.
Nampaknya akan sulit jika harus kembali menyimak font kecil rapat, dengan gaya spasi rapat pula, seperti di kolom harian surat kabar cetak yang paragafnya juga indent.
Pembaca sudah ter-edukasi dan mulai terbiasa dengan sifat berita web yang ringkas cepat juga dengan font yang lebih nyaman, juga direktori-direktori yang tinggal digeser dengan jari.
Tidak dibalik dilipat sehingga mengganggu penumpang di sebelahnya.
Bahkan untuk koran papan bawah yang berharga Rp.2000,- para penumpang bus juga terlihat biasa saja tidak antusias.
Saya lihat para penumpang yang menenteng smartphone sudah terbiasa dengan gaya font web online yang lebih nyaman dibaca dan laman yang mudah di- tap dan di - slide atau digeser dengan jari.
Nampaknya akan sulit jika harus kembali menyimak font kecil rapat, dengan gaya spasi rapat pula, seperti di kolom harian surat kabar cetak yang paragafnya juga indent.
Pembaca sudah ter-edukasi dan mulai terbiasa dengan sifat berita web yang ringkas cepat juga dengan font yang lebih nyaman, juga direktori-direktori yang tinggal digeser dengan jari.
Tidak dibalik dilipat sehingga mengganggu penumpang di sebelahnya.
Kalau dari segi sisi berita, mungkin mereka para penumpang bus ini juga sudah lihat televisi, karena sifat berita mainstream ya main alias umum dan relatif sama saja.
Mau dibuat angle berita seperti apa pelintirannya, tetap rakyat tak ada waktu untuk mencerna angle berita yang rumit.
Rakyat maunya, ya apa sebenarnya duduk persoalannya di negara ini.
Tokoh ini mau omong apa sih, tokoh itu omong apa sih? dan apa yang sedang berkembang, soal politik lagi atau soal ekonomi lagi yang rakyat maunya ngerti hasil akhirnya saja bagaimana.
Tokoh ini mau omong apa sih, tokoh itu omong apa sih? dan apa yang sedang berkembang, soal politik lagi atau soal ekonomi lagi yang rakyat maunya ngerti hasil akhirnya saja bagaimana.
Toh lihat televisi juga sudah paham.
Bahkan baca online sebentar, dimana pulsa sudah dibeli secara paketan juga mudah dan murah.
Kini sudah ada 80 juta lebih rakyat Indonesia pengakses internet.
Di sisi lain para jurnalis muda energik, lebih bebas untuk memanfaatkan media online dotcom sebagai wahana penyaluran kreatifitas mereka untuk membuat media. Tentu harus berdasar fakta dan data.
Karena secara alami, media online yang memuat informasi atau berita hoax melulu ya pasti akan segera diketahui oleh rakyat pembacanya, dan akan segera ditinggalkan.
Dengan semakin murah dan canggihnya smartphone, maka nantinya rakyat akan lebih memilih mengakses informasi dan berita secara real time yang aktual, bisa streaming gratisan.
Portal streaming gratisan ini dalam ilmu jurnalistik modern akan membuka peluang bagi para muda yang kreatif untuk membuat portal berita video faktual real time.
Untuk kalangan tua, -seperti saya yang lahir di awal era orde baru-, dimana dulu jumlah koran ber-siupp ya hanya itu-itu saja, mungkin akan selalu merindukan membaca media cetak harian atau mingguan.
Seperti nenek saya dulu yang lahirnya jaman kolonial Belanda yang selalu minta dibelikan majalah berbahasa Jawa. Majalah ini namanya macam-macam, dan dijualnya hanya di toko buku tertentu saja.
Seperti nenek saya dulu yang lahirnya jaman kolonial Belanda yang selalu minta dibelikan majalah berbahasa Jawa. Majalah ini namanya macam-macam, dan dijualnya hanya di toko buku tertentu saja.
Sayangnya kesukaan membaca majalah berbahasa Jawa ini sulit untuk menurun ke para cucunya, termasuk saya.
Kini ganti anak-anak saya sudah malas baca koran, meski saya berlangganan koran pula.
Dalam smartphone mereka, untuk baca berita dan mengakses aneka informasi jadi lebih murah, Apalagi kalau tersedia wifi gratis di sekolahnya.
Di negara yang sangat maju seperti Amerika saya baca situs http://newspaperdeathwatch.com/
yang selalu memonitior serta mengulas tentang koran yang telah tutup di Amerika.
Sekali lagi ini kan mirip gelombang di kolam, jika Epicentrenya di negara maju sudah seperti itu, riak gelombang itu perlahan mau tak mau akan menghampiri ke pinggirannya. (*)
0 Response to "Riak Gelombang"
Posting Komentar