Oleh: Reni Tania
Desir ombak membangunkanku, mempertemukanku dengan malam yang tenang. Suara jarum jam yang bergerak setiap detik terdengar jelas seolah mewakili detak jantungku yang tenang. Dalam sinar lampu yang remang, aku memperhatikan angka 12 yang ditunjuk jarum jam pendek, sedangkan jarum panjangnya berada di tengah-tengah antara angka 6 dan 7. Aku masih duduk di tengah-tengah kasur dengan guling berada di sisi kanan dan kiriku. Tertarik mendekati jendela, aku menggeser guling yang letaknya di pinggir ranjang kemudian beranjak dari tempat tidur mendekati jendela.
Aku menyibak kelambu yang menutupi jendela kamarku yang usang. Kubuka penutup jendela dan seketika angin laut menyambutku ramah. Kilau lampu dari rumah tetangga-tetanggaku yang berjarak cukup jauh dan pantulan sinar bulan membantuku melihat dalam gelap. Suasana seperti ini selalu kusukai. Bau asin air laut yang pasang, dunia yang disinari bulan yang bulat sempurna dan suasana yang sunyi dimana tidak ada suara jangkrik yang terdengar.
Namaku Imah. Namun, biasanya para jangkrik memanggilku Bebelu1 ketika menjadikanku tokoh pembicaraan. Aku tidak ingin menunjukkan reaksi apapun, tak juga ingin berbicara apapun meski sebenarnya aku kurang setuju dengan panggilan itu. Aku juga tak menyalahkan Jumadi yang meninggalkanku dan memilih bergabung dengan laut dan lenyap. Setidaknya aku masih memiliki Papuq2Simah yang menemaniku mengumpulkan tongkol setiap pagi dari para nelayan yang mau menjual hasil tangkapan mereka padaku untuk kujual ke pinggir jalan di dekat pantai.
Papuq Simah juga seorang bebelu yang hidup sendirian sejak enam tahun yang lalu. Papuq Ganjar meninggalkan Papuq Simah setelah diguna-guna Ajar, perempuan berusia 30 tahunan yang ditinggal mati suaminya saat melaut bersama Jumadi. Setelah menceraikan Papuq Simah, Papuq Ganjar meninggalkan tempat ini dan merantau ke pantai yang lain, mengikuti penduduk yang ramai pindah rumah ke pantai yang katanya lebih menjanjikan untuk para nelayan.
Sejak saat itu, aku dan Papuq Simah menjadi tokoh yang menyaringkan suara jangkrik di sekitar kami. Aku tak tahu sisi mana yang menarik dari seorang bebelu yang membuat para jangkrik senang meraung-raung melumat harga diri kami. Tapi aku tetap diam, karena Papuq Simah selalu mengingatkan bahwa hidup dengan kesabaran akan menjadikan mati menjadi tenang.
Sebisa mungkin aku menahan egoku untuk melindungi Papuq Simah yang sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, sejak aku hidup sendirian karena Bapakku dan Jumadi meninggalkanku ke surga. Acapkali aku berpikir, seandainya aku nekat mengikutkan diri dalam kapal nelayan malam itu, aku pasti sudah hidup bahagia dengan mereka entah di tempat yang aku tak tahu dimana.
Malam ini begitu tenang, namun disaat yang bersamaan mengingatkanku tentang semua orang yang meninggalkanku, pun para jangkrik yang kemudian mengusik hidupku dengan kata-kata mereka yang mengencangkan urat maluku. Memoriku memutar kembali ingatan tentang kejadian beberapa waktu yang lalu.
Pak Sidik adalah teman baik Jumadi sejak hari-hari menangkap ikan mereka lalui bersama. Ia juga salah seorang nelayan terkaya di tempat kami, karena memiliki banyak kawan di beberapa pantai. Walaupun usia Pak Didik dan Jumadi terpaut jauh, namun mereka dapat menghargai satu sama lain sehingga lambat-laun mereka menjadi teman yang akrab.
Setelah Jumadi meninggalkanku, Pak Sidik membantuku dengan menjual sebagian hasil tangkapannya dengan harga yang lebih murah dibandingkan nelayan yang lain kepadaku. Bu Lilik, istri Pak Didik juga setuju mengingat Jumadi seringkali membantu pekerjaan sampingan Pak Didik. Namun, tak lama kemudian para tetangga seperti tak menyukai perbuatan Pak Didik dan Istrinya padaku. Mereka mulai ramai berbicara tentang statusku sebagai seorang bebelu dan Pak Didik yang berbaik hati membantuku menunjang hidup.
Teriakan para jangkrik mencapai puncak ketika Bu Lilik ditemukan meninggal dengan badan membiru oleh Pak Didik sepulangnya melaut. Pak Didik menduga kematian Bu Lilik karena keracunan ikan, tapi para jangkrik tak mau menerima. Mereka mulai bersuara di sana sini bersikeras bahwa Pak Didik sengaja meracuni istrinya agar bisa membina hubungan denganku. Namun, para jangkrik tak berani membuka suara di depan Pak Didik. Oleh karena mereka sekumulan jangkrik, Pak Didik tak dapat meredakan desas-desus yang mereka keluarkan. Seantero pinggiran pantai telah mendengar berita mengenai kematian Bu Lilik beserta komentar para jangkrik yang mengiringi berita tersebut. Sebagian orang memercayai para jangkrik dan ada beberapa orang yang benar-benar mengenal Pak Didik tak percaya akan berita yang berasal dari para jangkrik itu.
Semakin hari, kumpulan jangkrik itu semakin mengembangkan cerita-cerita tentang kematian Bu Lilik. Sempat terdengar cerita bahwa Bu Lilik pernah memergokiku duduk berduaan dengan Pak Didik. Bahkan ada yang mengatakan Pak Didik menghadiahiku kalung emas dan secara diam-diam sering memberikanku uang. Semakin hari bertambah, omongan dari para jangkrik semakin membuat setiap orang memusatkan perhatiannya padaku. Tak tahan dengan omongan para jangrik dan penilaian orang-orang sekitar, Pak Didik memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Pak Didik hanya meminta maaf dan pamit padaku secara singkat karena tak ingin terlihat oleh para jangkrik. Aku memaklumi dan meminta maaf karena Pak Didik diikutsertakan sebagai tokoh pembicaraan para jangkrik gara-gara berbuat baik kepadaku.
Hempasan ombak membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah jam, dan jarum pendeknya telah menunjuk angka 1. Segera kututup jendela dan mengembangkan kelambu, kemudian aku kembali ke tempat tidur. Aku mengembalikan posisi guling seperti semula. Aku berbaring, bersiap untuk tidur. Bagaimanapun, meskipun aku hanya diam dalam menghadapi para jangkrik, aku tetap butuh istirahat untuk hidup. Kalaupun bukan untuk diriku sendiri, setidaknya untuk melindungi dan menemani Papuq Simah. Entah suara-suara apalagi yang akan diteriakkan para jangkrik esok hari. Aku akan tetap bungkam. Diam seperti tiram.
FootNote:
|
Malang, 15 April 2015
0 Response to "Tiram Diantara Sekumpulan Jangkrik"
Posting Komentar