Apoteker Berstandar Nasional

Berikut ini adalah tulisan saya kira-kira 2 tahun yang lalu. Karena saya bercita-cita menjadi seorang penulis, meng-copy - paste tulisan orang lain adalah hal yang sangat terlarang. Ada ungkapan bahwa "Tulisan adalah Nyawa seorang penulis" Maka saya sangat berharap dengan sangat teman-teman tak menyalin begitu saja tulisan yang saya buat. Silahkan jika teman-teman menjadikannya referensi dengan mencantumkan saya sebagai penulis asli, karena dalam menulis esai ini pun, saya cantumkan sumber jika memang saya memasukkan kutipan.
Terus terang saya dahulu sangat kecewa, saya membuat Esai dengan sepenuh hati sayangnya teman2 saya yang lain hanya copy-paste dari sumber tertentu. Dan panitia yang menyeleksi Esai biasa saja. Dari situlah saya sadar, dunia perguruan tinggi tidak se-profesional yang saya duga dan masing-masing orang punya keahlian masing-masing.
Oh iya, ini adalah Esai lama, jadi sudah tak update  lagi, karena sekarang, untuk memastikan Apoteker lulus dengan menguasai kompetensi, sudah ada UKAI (Uji Kompetensi Apoteker Indonesia). Silahkan menikmati Esai berikut ini... ^_^
***

Apoteker Berstandar Nasional

[Esai Kefarmasian]

“Apoteker wajib memberikan pelayanan kefarmasian. Seorang apoteker telah lulus pendidikan profesi apoteker yang menjamin kompetensi keilmuan, telah mengucapkan sumpah/janji kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk membaktikan dirinya demi kepentingan perikemanusiaan dalam bidang kesehatan, dan memiliki kode etik yang berisi ungkapan komitmen dalam berperilaku profesional sebagai tenaga kesehatan” ungkap Yustina Sri Hartini dalam tulisannya Relevansi Peraturan Dalam Mendukung Praktek Profesi Apoteker di Apotek yang dimuat di Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. VI, No. 2, Agustus 2009, 97-106.

Keprofesionalan apoteker selalu dituntut dan diperbincangkan dalam berbagai tulisan yang terkait. Setelah menjadi sarjana farmasi, perjalanan seorang calon apoteker belumlah tuntas. Calon apoteker harus menjalani pendidikan profesi untuk dapat diakui sebagai apoteker, kemudian mengupdate diri dengan mengikuti sertifikasi setiap lima tahun sekali. Kaitannya dengan pendidikan profesi, kurikulum ditetapkan oleh APTFI yang harus dipenuhi seorang sarjana farmasi yang disesuaikan dengan lembaga penyedia pendidikan profesi apoteker.

Kurikulum Program Pendidikan Apoteker yang ditetapkan oleh APTFI terbagi menjadi dua kurikulum yakni Kurikulum Inti dan Kurikulum Institusional. Kurikulum Inti terdiri dari Farmakoterapi terapan, Pelayanan kefarmasian, Compounding and Dispensing, Manajemen farmasi, PKP Apotik yang diwajibkan, dan PKP Pilihan Wajib (PKP-RS atau PKP-Industri atau PKP-Pemerintahan). Jumlah kurikulum inti program pendidikan apoteker aalah 16 sks. Sedangkan Kurikulum Institusional dengan materi pembelajaran Institusional minimal 12 sks, sehingga jumlah sks minimal yang harus ditempuh adalah 28 sks. Adapun ketentuan yang berlaku jumlah total sks pada program pendidikan apoteker maksimum 40 sks yang diselenggarakan minimal 2 semester yang diakhiri dengan evaluasi oleh penguji yang dibentuk oleh PTF (Perguruan Tinggi Farmasi).


Dalam rangka peningkatan kesehatan bangsa, dalam pendahuluan  standar kompetensi apoteker oleh IAI dicatumkan bahwa “Pola pengembangan sumber daya tenaga kesehatan perlu disusun secara cermat yang meliputi perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan yang berskala nasional”.

Hal tersebut menunjukan bahwa apoteker harus memiliki kemampuan yang benar-benar teruji dan terstandarisasi secara nasional. Tidak dapat dibayangkan jika para apoteker memiliki kemampuan yang tidak diuji dan melakukan praktek kefarmasian.

Karena apoteker dilindungi oleh organisasi pusat dan undang-undang, maka sudah seharusnya apoteker memiliki tanggung jawab dan kesadaran untuk menguasai ilmu pengetahuan serta memiliki kemampuan yang kompeten dan profesional. Hal ini dapat terwujud dengan adanya pedidikan profesi apoteker yang terstandarisasi secara nasional. Hal ini penting agar kemampuan apoteker di seluruh wilayah nasional terjamin.

Bukan hal baru ketika banyak berita miring yang disampaikan terkait dengan apoteker yang kurang kompeten ataupun eksisnya asisten apoteker dan lenyapnya apoteker dari Apotik. Hal ini memunculkan kabar-kabar baru yang dengan mudahnya menyatakan bahwa apoteker tidak menunggui Apotik karena tidak menguasai bidang ilmunya ataupun takut menghadapi pasien seperti yang diberitakan pada m.kompasiana.com. Ditambah lagi dengan tulisan di majalah kompas (22/2/2014) dengan judul Setengah Dari Konsumsi Obat Tidak Bermanfaat. Nampaknya berita terkait sisi gelap apoteker terus saja beredar dari waktu ke waktu. Hal ini jelas membuktikan bahwa beberapa apoteker kurang total dalam menjalankan tugas dan lagi-lagi yang dikenai saran dan kritik adalah penyedia pendidikan apoteker.

Sangat penting untuk mengabarkan bahwa profesi apoteker bukanlah profesi yang dapat dengan mudah dijangkau semua orang. Bukan berarti hanya orang-orang yang cerdas tanpa usaha keras yang dapat memilikinya, namun profesi apoteker perlu dijangkau oleh orang-orang yang bekerja keras dan mau memberikan hati dan pelayanan kepada masyarakat. Masalah yang mewarnai lembaga pendidikan saat ini adalah para mahasiswa farmasi yang memfokuskan target pada nilai bukan terhadap penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Tentu saja hal ini tidak dapat dibiarkan karena dengan demikian para pelajar hanya akan mempelajari materi-materi yang membuat mereka lulus sehingga ketika dihadapkan dengan ujian terkait standarisasi kompetensi apoteker mereka akan mengalami kesulitan untuk lulus.

Pendidikan profesi apoteker harus mampu menyamakan kemampuan apoteker tingkat nasional, sehingga ketika berhadapan dengan masyarakat manapun, apoteker tersebut dapat dengan mudah menyuguhkan solusi terhadap berbagai permasalahn yang diberikan. Pun untuk bersaing secara internasional yang akan memperlihatkan secara nyata ketika seorag apoteker lulus dengan tidak terstandarisasi.

Dalam jurnal Pengembangan Pendidikan Profesi Apoteker Untuk Mendukung Eksistensi Apoteker di Apotek (Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. V, No. 3, Desember 2008, 130-137) yang ditulis Sukrasno diungkapkan beberapa ciri pendidikan profesi apoteker di beberapa negara yakni Amerika, Belanda, Inggris, Australia, Thailand dan Malaysia. Sukrasno mengungkapkan bahwa pendidikan profesi ditangani dengan sangat serius untuk menghasilkan lulusan yang kompeten dan mempunyai sertifikat untuk melaksanakan layanan kefarmasian. Contohnya di Amerika, pendidikan profesi apoteker dikenal dengan program Doktor Farmasi (PharmD) yang berlangsung selama empat tahun yang terdiri dari tiga tahun perkuliahan dan satu tahun kerja praktek lanjut.

Ketika lulus dari pendidikan profesi, seorang apoteker diharapkan mampu bekerja secara maksimal, namun masih ada beberapa apoteker yang masih harus berlatih untuk dapat secara terampil memberikan layanan kefarmasian di Apotek. Apoteker harus diuji secara benar dan tepat karena dalam pelayanan kefarmasian tidak terjadi kesalahan. Ketika diuji, apoteker juga tidak boleh dibantu agar lulus dengan cepat ataupun agar mendapatkan nilai yang bagus karena bagaimanapun pelayanan kefarmasian berkaitan dengan kelangsungan hidup masyarakat.

Melihat kondisi pelayanan di Apotek atapun apoteker yang terus saja dipersalahkan karena terlihat kurang aktif, maka sudah seharusnya dalam pendidikan profesi, apoteker harus disiapkan bukan hanya sekedar dari pengetahuan namun melingkupi praktik kompeten dan kemampuan handal agar dalam melakukan pekerjaan, apoteker dapat mengerahkan tenaga profesional.

Ketika apoteker tedidik dan teruji dengan baik maka berita miring akan lenyap dengan sendirinya dan persaingan globalpun dapat dengan mudah dilalui.



Ditulis sebagai syarat mengikuti 
LKMMF  (Latihan Kepemimpinan & Manajemen Mahasiswa Farmasi)
Pada tahun 2014 

0 Response to "Apoteker Berstandar Nasional"

Posting Komentar