IDENTITAS NASIONAL
A. Pengertian Identitas Nasional
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi dewasa ini mendapat tantangan yang sangat kuat, terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalis Revolution, era globalisasi dewasa ini ideologi kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, sosial, politik dan kebudayaan (Berger, 1988). Perubahan global ini menurut Fukuyama (1989: 48), membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikuler kea rah ideologi universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya.
Dalam kondisi seperti ini negara nasional akan dikuasai oleh Negara transnasional, yang lazimnya didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme (Rosenau). Konsekuensinya Negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, ciri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi challance dan response. Jikalau challance cukup besar sementara response kecil, maka bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborogin di Australia dan bangsa Indian di Amerika. Namunn demikian jikalau challance kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreativitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai Negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional (Kaelan, 2010: 42).
Dalam Identitas Nasional terdapat dua kata yaitu Identitas dan Nasional. Identitas sendiri memiliki arti sebagai ciri yang dimiliki setiap pihak yang dimaksud sebagai suatu pembeda atau pembanding dengan pihak yang lain. Sedangkan Nasional atau Nasionalisme memiliki arti suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada Negara kebangsaan (Kohn, 1984: 11).
Istilah “identitas nasional” secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian yang demikian maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Demikian pula hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis (Kaelan, 2010: 43). Berdasarkan pengertian di atas maka tiap bangsa memiliki Identitas masing-masing, antara bangsa satu dengan yang lain memiliki ciri khas yang berbeda-beda, untuk menjadi pandangan tentang jati diri yang sebenarnya yang dimiliki di dalam bangsa tersebut (https://www.academia.edu/8851460/Identitas_Nasional).
Istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitasi dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu. Oleh karena itu, menurut Ismaun (1981: 6) Kepribadian adalah tercermin pada keseluruhan tingkah laku seseorang dalam hubungan dengan manusia lain. Berdasarkan uraian diatas , maka pengertian kepribadian sebagai suatu identitas nasional suatu bangsa, adalah keseluruhan atau totalitas dari kepribadian individu-individu sebagai unsur yang membentuk bangsa tersebut. Oleh karena itu pengertian identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan pengertian “ peoples character “, “ National character”, atau “ National Identity “. Oleh karena itu, identitas nasional suatu bangsa termasuk identitas nasional Indonesia juga harus dipahami dalam konteks dinamis (Kaelan, 2010: 45).
B. Faktor-faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional
Identitas nasional suatu bangsa memiliki sifat, ciri khas serta keunikan sendiri-sendiri, yang sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Sedikitnya ada 2 faktor yang mendukung kelahiran identitas suatu bangsa, yaitu faktor objektif dan subjektif. Bagi bangsa Indonesia faktor objektif mndukung kelahiran identitas nasional meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis. Sedangkan faktor subjektif adalah faktor historis, sosia, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells dalam bukunya, The power of Identity (Suryo, 2002) mengemukakan teori tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis antara empat faktor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik dan faktor reaktif. Kesatuan tersebut tidak menghilangkan keberanekaan, dan hal inilah yang dikenal dengan bhineka tunggal ika. Faktor kedua, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan lainnya dalam kehidupan negara.
Faktor ketiga, mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Fakta keempat, meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori koektif rakyat.
Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia, yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia pada dasarnya melekat erat dengn perjuangan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu pembentukan identitas nasional Indonesia melekat erat unsur-unsur sosial, agama, ekonomi, budaya, geografis yang berkaitan dan terbentuk melalui suattu proses yang cukup panjang ( Kaelan dan Zubaidi, 2007 : 50-51 )
Identitas setiap manusia ditentukan oleh ruang hidupnya yang secara alami akan berakulturasi dan membentuk cirri khas atau karekter khas dalam norma kehidupan. Identitas diartikan sebagai ciri/keadaan khusus, dalam antropologi berarti sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi, golongan sendiri, komunitas sendiri, dan Negara sendiri. Identitas tidak hanya mengacu pada individu tetapi juga pada suatu kelompok.
Identitas meliputi nilai, norma dan symbol ekspresi sebagai ikatan social untuk membangun solidaritas dan kohesivitas social yang digunakan untuk menghadapi kekuatan luar yang menjadi symbol ekspresi yang memberikan pembenaran bagi tindakan pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan dating. Sedangkan nasional berasal dari bangsa sendiri atau meliputi diri bangsa. Jadi identitas dan kepribadian nasional itu jati diri yang membentuk bangsa yaitu bebagai suku bangsa, agama, bahasa, budaya nasional, wilayah nusantara, ideology Pancasila.
(Minto Rahayu, Pendidikan Kewarganegaraan Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa, Grasindo, Jakarta, Hal 55)
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat Internasional, memiliki sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia berkembang menuju fase nasionalisme modern,diletakkanlah prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam hidup berbangsa dan bernegara. Para pendiri Negara menyadari akan pentingnya dasar filsafat ini, kemudian melakukan suatu penyelidikan yang dilakukan oleh badan yang akan meletakkan dasar filsafat bangsa dan Negara yaitu BPUPKI. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa tersebut yang diangkat dari filsafat hidup atau pandangan hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat Negara yaitu Pancasila. Jadi dasar filsafat suatu Negara berakar pada pandangan hidup yang bersumber kepada kepribadiannya sendiri. Hal inilah yang menurut Titus dikemukakan bahwa salah satu fungsi filsafat adalah kedudukannya sebagai suatu pandangan hidup msayarakat (Titus, 1984)
Dapat pula dikatakan bahwa Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Indonesia pada hakikatnya bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi filsafat pancasila bukan muncul secara tiba-tiba dan dipaksakan oleh suatu rezim atau pengusa melainkan melalui suatu fase historis yang cukup panjang. Pancasila sebelum dirumuskan secara formal yuridis dalam pembukaan UUD 1945 sebagai dasar filsafat Negara Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu pandangan hidup, sehingga materi Pancasila yang berupa nilai-nilai tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri. Dalam pengertian seperti ini menurut Notonagoro bangsa Indonesia sebagai Kausa Materialis Pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri Negara untuk dijadikan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Proses perumusan materi Pancasila secara formal tersebut dilakukan dalam sidang-sidang BPUPKI pertema, sidang “Panitia 9’,sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disahkan secara formal yuridis sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia.
(Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Paradigma, Yogyakarta, Hal 51)
1. Unsur-unsur pembentuk identitas dan kepribadian yaitu:
a. Suku bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang 300 dialeg bangsa.
b. Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara. Namun sejak pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
c. Kebudayaan: adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang isinya adalah perangkat- perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung- pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagi rujukan dan pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
d. Bahasa: merupakan unsure pendukung Identitas Nasonal yang lain. Bahasa dipahami sebagai system perlambang yang secara arbiter dientuk atas unsure-unsur ucapan manusia dan yang digunakan sebgai sarana berinteraksi antar manusia.
Dari unsur-unsur Identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut :
Identitas Fundamental, yaitu pancasila merupakan falsafah bangsa, Dasar Negara, dan Ideologi Negara
-Identitas Instrumental yang berisi UUD 1945 dan tata perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Identitas Alamiah, yang meliputi Negara kepulauan (Archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, dan agama, serta kepercayaan.
2. Pengertian Pancasila sebagai identitas dan kepribadian Nasional
Sebagai identitas nasional, Pancasila sebagai kepribadian bangsa harus mampu mendorong bangsa Indonesia secara keseluruhan agar tetap berjalan dalam koridornya yang bukan berarti menentang arus globalisasi, akan tetapi lebih cermat dan bijak dalam menjalani dan menghadapi tantangan dan peluang yang tercipta. Bila menghubungkan kebudayaan sebagai karakteristik bangsa dengan Pancasila sebagai kepribadian bangsa, tentunya kedua hal ini merupakan suatu kesatuan layaknya keseluruhan sila dalam Pancasila yang mampu menggambarkan karakteristik yang membedakan Indonesia dengan negara lain.Naskah Pancasila .
Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Identitas Nasional merupakan suatu konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya. Perlu dirumuskan oleh suku-suku tersebut. Istilah Identitas Nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi yang sangat kuat terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalist Revolution, eraglobalisasi dewasa ini, ideology kapitalisme yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, social, politik dan kebudayaan.
Perubahan global ini menurut Fakuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular kearah ideology universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya. Dalam kondisi seperti ini, negara nasional akan dikuasai oleh negara transnasional yang lazimnya didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme. Konsekuensinya,negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian, dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri.
Menurut Toyenbee, cirri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi Challence dan response. Jika Challence cukup besar sementara response kecil maka bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangsa Indian di Amerika. Namun demikian jika Challance kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yangcenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
D. Keberadaan Pancasila sebagai Identitas Nasional pada Era Reformasi dan Globalisasi
1. Era Reformasi
Dalam era reformasi bangsa Indonesia harus memiliki visi dan pandangan hidup yang kuat (nasionalisme) agar tidak terombang-ambing di tengah masyarakat internasional. Hal ini dapat terlaksana dengan kesadaran berbangsa yang berakar pada sejarah bangsa.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejalan dengan tibanya era reformasi, Pancasila mulai diabaikan. Bahkan, hampir tidak disebut-sebut lagi dalam pidato para pejabat. Pendidikan Moral Panacsila (PMP) yang selama ini diterapkan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi dihapus. Ini semua disebabkan oleh semacam “kejengkelan” terhadap rezim Orde Baru yang telah memperalat Pancasila guna mempertahankan kekuasaannya yang otoriter (Titus, 1984 dalam Azymardi Azra)
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dimaksudkan untuk mensosialisasikan Pancasila dan nilai-nilainya di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara telah berubah menjadi sesuatu yang indoktrinatif dan doktriner. Dengan demikian, Pancasila lalu menjadi kaku. Terlebih lagi ketika yang diajarkan itu tidak cocok dengan peri-kehidupan sehari-hari. Bukanlah sebuah hal yang tidak lazim, bahwa justru nilai-nilai Pancasila itu sendiri telah dilanggar di dalam penyelenggaraan P4 pada waktu itu, tegas Pdt. Yewangoe.
Lebih lanjut Pdt. Yewangoe menuturkan, pengalamannya ketika mengikuti penataran P4 tingkat nasional, di mana telah mengusik rasa tidak enak pada waktu itu. Rupanya telah disediakan, oleh “orang dalam” pidato-pidato. Jadi yang dapat diperoleh dengan imbalan seperlunya, sehingga orang tidak perlu menulisnya lagi. Maka tidak heran, diskusi Pancasila yang mestinya dinamis telah berubah menjadi sesuatu yang sangat membosankan. Ketika P4 dipakai hanya sebagai jembatan kenaikan pangkat bagi PNS, maka segala macam jalan ditempuh untuk memperoleh sertifikat.
Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila akhirnya gagal diwujudkan dalam kenyataan. Pancasila cenderung ditingggalkan. Tentu saja hal ini menyedihkan. Sebab meninggalkan Pancasila sama dengan menanggalkan identitas Indonesia. Pancasila adalah Indonesia dan sebaliknya Indonesia adalah Pancasila. Di dalam Pancasilalah rasa dan semangat kebangsaan kita direfleksikan. Kalau tidak ada lagi, maka dengan sendirinya elan kebangsaan mati. Sama seperti pelita kehabisan minyak, demikian juga Indonesia. Indonesia yang majemuk akan pecah berantakan. Jika menerapkan ideologi lain selain Pancasila, maka Indonesia yang kita peroleh bukan lagi yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Meski demikian, usaha Taufik Kiemas untuk menyalakan kembali nilai – nilai kesadaran berbangsa dan bernegara melalui 4 pilar kebangsaan, yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika patut diacungi jempol.
2. Era Globalisasi
Globalisasi memang sebuah keniscayaan waktu yang mau tidak mau dihadapi oleh negara manapun di dunia. Ia mampu memberikan paksaan kepada tiap negara untuk membuka diri terhadap pasar bebas. Hampir tiap negara mengalami hal serupa dalam era globalisasi yang serba terbuka ini. Pihak yang diuntungkan dalam perkembangan situasi ini tak lain adalah negara maju yang memiliki tingkat kemapanan jauh di atas negara berkembang. Dalam globalisasi, negara-negara berkembang mau tidak mau, suka tidak suka, harus berinteraksi dengan negara-negara maju. Melalui interaksi inilah negara maju pada akhirnya melakukan hegemoni dan dominasi terhadap negara-negara berkembang dalam relasi ekonomi dan politik internasional yang dilakukannya.
Globalisasi yang hampir menenggelamkan setiap bangsa tentunya memberikan tantangan yang mau tidak mau harus bangsa ini taklukkan. Era keterbukaan sudah dan mulai mengakar kuat, identitas nasional adalah barang mutlak yang harus dipegang agar tidak ikut arus sama dan seragam yang melenyapkan warna lokal serta tradisional bersamanya. Perlu dipahami bahwa identitas nasional, dalam hal ini Pancasila mempunyai tugas menjadi ciri khas, pembeda bangsa kita dengan bangsa lain selain setumpuk tugas-tugas mendasar lainnya. Pancasila bukanlah sesuatu yang beku dan statis, Pancasila cenderung terbuka, dinamis selaras dengan keinginan maju masyarakat penganutnya.(http://sriactivity.blogspot.com/2014/07/makalah-pancasila-sebagai-identitas.html)
Implikasinya ada pada identitas nasional kita yang terkesan terbuka, serta terus berkembang untuk diperbaharui maknanya agar relevan dan fungsional terhadap keadaan sekarang. Ketika globalisasi tidak disikapi dengan cepat dan tepat maka hal ia akan mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa. Globalisasi adalah tantangan bangsa ini yang bermula dari luar, sedangkan pluralisme sebagai tantangan dari dalam yang jika tidak disikapi secara bijak tentu berpotensi menjadi masalah yang bisa meledak suatu saat nanti. Berhasil atau tidaknya kita menjawab tantangan keterbukaan zaman itu tergantung dari bagaimana kita memaknai dan menempatkan Pancasila dalam berpikir dan bertindak.
Salah satu lokomotif globalisasi adalah teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi ini berimplikasi pada cepatnya proses informasi dan komunikasi di seluruh belahan dunia. Kalau dulu pernah ada slogan “dunia tak selebar daun kelor” maka di era globalisasi slogan itu sebenarnya telah usang, karena kenyataannya memang “dunia selebar daun kelor”, Dunia menjadi sedemikian sempit dan kecil. Semua peristiwa yang terjadi di suatu belahan dunia dapat langsung disaksikan detik itu juga di penjuru dunia lain, sekecil apapun kejadian itu, dari peristiwa pemilihan presiden sampai perselingkuhan seorang wakil rakyat. Begitu pula apa yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dunia dapat juga dilakukan oleh komunitas lainnya dalam model dan kualitas yang tidak berbeda. Beberapa ciri penting (sekaligus sebagai implikasi) globalisasi adalah: Pertama, hilangnya batas antarnegara (borderless world), maraknya terobosan (breakthough) teknologi canggih, telekomunikasi dan transportasi, sangat memudahkan penduduk bumi dalam beraktivitas. Dengan berdiam di rumah atau di ruang kantor, seseorang bisa bebas selancar ke seluruh isi dunia, sampai – sampai rencana pembunuhan pun bisa diketahui sebelumnya. (Suryo, 2002 dalam Kaelan, 2007)
Secara alamiah, tanah air kita memiliki tiga karakteristik utama, yaitu secara geografis sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau dan ratusan ribu kilometer garis pantai serta terletak pada “posisi silang” antara dua benua dan dua samudra, memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Serta secara demografis memiliki keanekaragaman yang sangat luas dalam berbagai bidang dan dimensi kehidupan seperti ras/etnis,agama, bahasa, kultur, sosial, ekonomi dan lain-lain. Faktor letak strategis dan kekayaan sumber daya alam tadi akan semakin penting manakala aspek geoekonomi, geopolitik dan geostrategi menjadi bahan tinjauan. 90% energi yang dibutuhkan Jepang dikapakan melalu perairan Indonesa. 60% ekspor Austalia dikirim ke Asia melalui perairan Indonesia. Amerika Serikat minta innocentpassage melinta dari timur ke barat di dalam wilayah perairan territorial indonesia, bagi pemelihara hegemoni dan aksesnya ke sumber minyak di TimurTengah, tidak heran jika banyak negara berkepentingan terhadap kestabilan atau instabilitas indonesia yang kaya akan minyak, mineral, hutan dan aneka ragam kekayaan laut. Oleh karenaya salah satu konsekuensi dari ciri letak strategis dan kekayaan SDA tadi adalah masuknya berbagai pekentingan asing ke dalam negeri kita.
Pergesekan antar berbagai kepentingan asing tersebut selain aneka kepentingan internal / nasional dapat dilahirkan berbagai macam konflik di Indonesia. Sedangkan secara demografis dengan 1072 etnik yang menghuni kepulauan Indonesia serta ribuan macam adat-budaya, ratusan macam bahasa serta sekian banyak agama yang menjadi ciri pluriformitas bangsa,sudah barang tentu selain menyimpan berbagai macam kekayaan budaya, juga sekaligus mengandung berbagai potensi dan sumber konflik. Tanpa disadari sebenarnya saat ini bangsa Indonesia sedang terlibat dalam suatu peperangan dalam kondisi terdesak hampir terkalahkan. Kita dapat saksikan dengan kasat mata terpinggirkannya nilai-nilai luhur budaya bangsa seperti kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, musyawarah mufakat dan digantikan oleh individualisme, kebebasan tanpa batas, sistem one man one vote dan sebagainya.
Sebagai suatu paradigma, Pancasila merupakan model atau pola berpikir yang mencoba memberikan penjelasan atas kompleksitas realitas sebagai manusia personal dan komunal dalam bentuk bangsa. Pancasila yang merupakan satuan dari sila-silanya harus menjadi sumber nilai, kerangka berfikir, serta asas moralitas bagi pembangunan. Pancasila itu menggambarkan Indonesia, Indonesia yang penuh dengan nuansa plural, yang secara otomatis menggambarkan bagaiaman multikulturalnya bangsa kita. Ideologi Pancasila hendaknya menjadi satu panduan dalam berbangsa dan bernegara (anz Magnis Suseno, 1995:174)
0 Response to "IDENTITAS NASIONAL"
Posting Komentar